Riau12.com-JAKARTA – Dalam Islam, menjadi seorang pendidik bukan sekadar profesi, melainkan amanah besar untuk membentuk akhlak dan menanamkan nilai ketakwaan kepada peserta didik.
Seorang guru tidak hanya dituntut menyampaikan ilmu, tetapi juga menjadi teladan hidup yang mencerminkan makna dari ilmu yang diajarkannya. Pandangan ini ditegaskan dalam kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali, yang menyebutkan bahwa seorang guru sejati adalah sosok yang berilmu sekaligus beradab.
Pendidik dituntut memiliki tanggung jawab moral, ketulusan, dan keikhlasan dalam membimbing murid-muridnya. Imam Al-Ghazali juga menekankan sejumlah adab penting bagi seorang pendidik, di antaranya bersabar terhadap karakter murid yang beragam, bersikap tawaduk di majelis ilmu, tidak mudah marah, serta mengajar dengan ketenangan dan wibawa. Guru juga diingatkan agar tidak menjadikan ilmu sebagai alat duniawi, serta mendahulukan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain sebelum fardhu kifayah.
“Ilmu tidak akan memberi cahaya tanpa amal dan adab yang benar,” tulis Al-Ghazali dalam kitabnya.
Senada dengan pandangan Imam Al-Ghazali, Buya Yahya, Pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Cirebon, menegaskan bahwa inti dari menjadi pendidik adalah kebersihan hati dan keikhlasan niat.
“Yang pertama yang diingatkan oleh Imam Nawawi adalah tata hati, niat yang benar,” ujar Buya Yahya. Guru yang tulus adalah mereka yang terus memperbarui niat dengan doa, terutama pada waktu-waktu mustajab seperti tengah malam. Ia menyarankan agar setiap pendidik memulai kegiatan mengajar dengan salat dua rakaat, memohon agar proses belajar menjadi amal ibadah, bukan sekadar rutinitas pekerjaan.
“Guru yang mengajar karena Allah akan lebih sabar, lebih lembut, dan lebih berpengaruh terhadap hati murid,” tambahnya.
Selain ketulusan, Buya Yahya menekankan pentingnya ketegasan dalam menegakkan peraturan di lingkungan pendidikan. “Menegakkan peraturan justru itulah kasih sayang sesungguhnya kepada anak didik,” tegasnya. Ketegasan bukan berarti kekerasan, melainkan bentuk kasih sayang yang menjaga adab dan wibawa dalam proses pendidikan. Aturan yang ditegakkan dengan kelembutan dan nasihat akan menumbuhkan rasa hormat dan kedisiplinan.
“Banyak murid baru menyadari arti ketegasan guru setelah mereka dewasa. Guru yang dulu tampak keras justru menjadi yang paling berkesan,” ujarnya.
Dari pandangan Imam Al-Ghazali dan Buya Yahya, dapat disimpulkan bahwa guru sejati adalah mereka yang mengajarkan dengan hati, memperbaiki niat, serta menegakkan aturan dengan kasih. Mereka menjadi cermin hidup bagi muridnya, bukan hanya dari kata-kata, tetapi juga dari sikap dan perbuatan.
Menjadi pendidik dalam Islam berarti menanamkan nilai adab sebelum ilmu, menumbuhkan ketakwaan sebelum kecerdasan, dan memberi keteladanan sebelum memberi pelajaran.
Komentar Anda :