Riau12.com-Dalam membahas hukum fanatik terhadap mazhab, penting untuk memahami dua istilah kunci: fanatik (ta‘aṣṣub) dan mazhab. Kedua istilah ini sering digunakan dalam wacana keagamaan, namun kerap disalahpahami hingga menimbulkan sikap berlebihan dalam beragama.
Secara bahasa, fanatik berarti keyakinan yang sangat kuat terhadap suatu pandangan hingga menolak pandangan lain. Dalam konteks agama, fanatik yang tercela adalah ta‘aṣṣub, yaitu membela pendapat seseorang atau kelompok tanpa dasar dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam bentuk ekstrem, sikap ini dapat menjerumuskan kepada pengkultusan tokoh atau imam, seolah-olah mereka maksum (terjaga dari kesalahan). Padahal, kemaksuman hanya dimiliki oleh Rasulullah ﷺ.
Allah Ta‘ālā berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang berakal.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 190–191)
Ayat ini menegaskan bahwa berpikir dan meneliti adalah ciri orang beriman. Islam tidak membenarkan sikap taklid buta yang menolak akal dan ilmu.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hati manusia, tetapi dengan mewafatkan para ulama. Jika tidak tersisa seorang alim pun, manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa kesesatan muncul bukan karena kurangnya fanatisme, melainkan karena hilangnya ilmu dan menjauhnya umat dari dalil.
Kata mazhab (مذهب) berasal dari akar kata ذهب – يذهب – مذهبًا, yang berarti “jalan yang ditempuh.” Dalam istilah fikih, mazhab adalah metode penggalian hukum syar‘i (istinbāṭ) yang dikembangkan oleh para imam besar seperti Abū Ḥanīfah, Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad bin Ḥanbal.
Pada masa Rasulullah ﷺ dan para sahabat, belum dikenal istilah mazhab sebagai kelompok hukum tertentu. Mereka langsung berpegang kepada Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma‘ sahabat. Istilah mazhab mulai populer sekitar abad ke-4 Hijriah, ketika metode ijtihad para imam dibukukan oleh murid-murid mereka. Namun, para imam tidak pernah bermaksud mendirikan mazhab untuk diikuti secara buta.
Para imam besar Ahlus Sunnah justru menegaskan bahwa mengikuti dalil lebih utama daripada mengikuti pendapat siapa pun.
Imam Abū Ḥanīfah berkata, “Tidak halal bagi seseorang mengambil pendapat kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambilnya.”
Imam Mālik berkata, “Setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya, kecuali penghuni kubur ini,” sambil menunjuk ke makam Rasulullah ﷺ.
Imam asy-Syāfi‘ī berkata, “Apabila hadits Nabi ﷺ sahih, maka itulah mazhabku.”
Imam Aḥmad bin Ḥanbal menasihati, “Janganlah engkau taqlid kepadaku, kepada Mālik, asy-Syāfi‘ī, atau ats-Tsauri. Ambillah dari tempat mereka mengambil, yaitu dalil.”
Pernyataan para imam tersebut memperjelas bahwa mereka menolak fanatisme terhadap mazhab. Mazhab hanyalah metode memahami dalil, bukan pengganti wahyu.
Ulama kemudian membedakan antara dua istilah penting: *ittibā‘* dan *taqlīd*. Ittibā‘ berarti mengikuti pendapat ulama berdasarkan dalil yang jelas. Sedangkan taqlīd adalah mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui dalilnya.
Bagi orang awam yang belum mampu berijtihad, taqlīd sementara kepada ulama yang terpercaya masih dibolehkan — selama tidak fanatik dan tetap siap menerima kebenaran bila datang dalil yang lebih kuat.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Tidak boleh bagi siapa pun untuk fanatik terhadap seseorang dengan mendahulukannya di atas Rasulullah ﷺ. Segala pendapat yang menyelisihi sabda, perintah, atau larangan Nabi ﷺ harus ditolak.” (Majmū‘ al-Fatāwā, 20/221)
Imam asy-Syāṭhibī rahimahullah juga mengingatkan, “Fanatik terhadap mazhab tertentu akan menghalangi seseorang dari kebenaran dan menjerumuskannya dalam bid‘ah.” (al-I‘tiṣām, 2/201)
Dari dalil dan penjelasan para ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa fanatik terhadap mazhab secara buta adalah perbuatan tercela dan bertentangan dengan manhaj Ahlus Sunnah. Yang diwajibkan adalah ittibā‘ — mengikuti ulama karena dalil, bukan karena nama mazhab.
Ulama adalah pembimbing menuju dalil, bukan pengganti dalil. Jika pendapat seorang imam bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka yang wajib diikuti adalah dalil yang sahih.
Allah Ta‘ālā berfirman:
“Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah).” (QS. an-Nisā’ [4]: 59)
Dan Allah memuji orang-orang berakal yang mengikuti kebenaran, bukan fanatisme:
“(Ialah) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal.” (QS. az-Zumar [39]: 18)
Daftar Rujukan Utama:
* Al-Qur’an al-Karim
* Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim
* Ibn ‘Abdil Barr, Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlih
* Imam an-Nawawi, al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhażżab
* Ibn Taimiyah, Majmū‘ al-Fatāwā
* Ibn al-Qayyim, I‘lām al-Muwaqqi‘īn
* asy-Syāṭhibī, al-I‘tiṣām
* Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah
Komentar Anda :