Perjanjian Keamanan Indonesia–Australia 2025 Resmi Disepakati, Tandai Babak Baru Stabilitas Indo-Pasifik
Riau12.com-Hubungan keamanan Indonesia dan Australia memasuki fase baru setelah Presiden RI Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengumumkan penyelesaian substantif Australia-Indonesia Treaty on Common Security pada 13 November 2025. Perjanjian ini dinilai sebagai tonggak penting dalam arsitektur pertahanan kawasan, sekaligus memperluas ruang konsultasi strategis kedua negara di tengah dinamika Indo-Pasifik yang semakin kompetitif.
Perjanjian keamanan terbaru ini hadir setelah penandatanganan upgraded Defence Cooperation Agreement pada tahun sebelumnya, serta merupakan lanjutan dari intensifikasi hubungan pertahanan selama satu dekade terakhir. Hubungan ini tidak dapat dilepaskan dari fluktuasi kepercayaan bilateral masa lalu, mulai dari Agreement on Maintaining Security (AMS) 1995 yang dibatalkan pada 1999, hingga lahirnya Lombok Treaty 2006 yang menjadi fondasi formal kerja sama keamanan kedua negara. Perjanjian 2025 dipandang sebagai penguatan struktur serupa namun dengan mekanisme konsultasi dan respons yang lebih komprehensif.
Dalam konferensi pers bersama di Canberra, Albanese menyatakan bahwa kedua negara berkewajiban berkonsultasi dan mempertimbangkan langkah-langkah individual maupun bersama jika salah satu pihak menghadapi ancaman. Pernyataan tersebut memperlihatkan peningkatan tingkat kepercayaan dan kesediaan kedua negara untuk menyusun pemahaman bersama terhadap lanskap ancaman yang berkembang, termasuk modernisasi militer kawasan, insiden maritim, dan rivalitas kekuatan besar.
Meskipun model bahasa dalam perjanjian ini mengingatkan pada ANZUS dan perjanjian keamanan lainnya yang melibatkan Australia, Indonesia tetap menegaskan posisi politik luar negeri bebas-aktif. Perjanjian tidak menciptakan komitmen pertahanan otomatis, melainkan menekankan koordinasi dan konsultasi sistematis. Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong menilai perjanjian tersebut sebagai upaya membangun jaringan keamanan yang bersifat saling melengkapi, bukan mengikat secara blok.
Cerminan fleksibilitas diplomasi Indonesia terlihat dari sejumlah hubungan pertahanan yang berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir dengan Kanada, Prancis, Inggris, Uni Emirat Arab, Rusia, dan Brasil. Di bawah Presiden Prabowo, diplomasi pertahanan Indonesia menitikberatkan diversifikasi kemitraan melalui dialog strategis, pameran industri pertahanan, dan penguatan kanal kerja sama teknis. Foto-foto yang memperlihatkan Prabowo di HMAS Canberra maupun kehadirannya dalam parade militer Beijing kerap disebut sebagai simbol omni-directional foreign policy Indonesia.
Namun di tengah penguatan kerja sama, sejumlah persoalan substansial masih menjadi perhatian. Ketimpangan kapabilitas militer, sensitivitas sejarah terkait kedaulatan, dan perbedaan ekspektasi strategis kerap menciptakan potensi salah tafsir. Kehadiran AUKUS, misalnya, memunculkan kekhawatiran sebagian pihak bahwa perjanjian keamanan bilateral dapat digunakan sebagai perpanjangan pengaruh Barat di kawasan.
Selain itu, hubungan antar masyarakat epistemik di kedua negara dinilai belum terintegrasi. Walaupun latihan gabungan dan pertukaran militer terus meningkat, jalur komunikasi antara think-tank, akademisi, dan analis kebijakan masih terfragmentasi. Kondisi tersebut menyebabkan narasi publik rentan terpolarisasi ketika terjadi insiden sensitif, seperti pelanggaran wilayah atau isu Papua.
Sejumlah analis menilai diplomasi track-1, track-2, dan track-1.5 perlu diintegrasikan agar hubungan keamanan kedua negara tidak bergantung pada dinamika politik jangka pendek. Diplomasi formal melalui jalur pemerintah dinilai tidak cukup untuk menyelaraskan persepsi ancaman, sedangkan track-2 dan track-1.5 memiliki peran penting dalam membangun kepercayaan jangka panjang di tingkat komunitas kebijakan.
Seiring dengan itu, solusi untuk memperkuat efektivitas perjanjian keamanan 2025 mencakup pembentukan dialog skenario bersama, peningkatan koordinasi antar lembaga pertahanan dan keamanan, serta institusionalisasi mekanisme berbagi informasi maritim. Penguatan forum track-2 melalui kolaborasi think-tank Indonesia dan Australia dinilai krusial untuk menjaga stabilitas narasi kebijakan di tengah dinamika geopolitik.
Selain itu, pembentukan forum track-1.5 secara berkala di Jakarta dan Canberra dipandang mampu mengakomodasi pembahasan isu sensitif tanpa tekanan publik. Hal ini dapat mencakup diskusi mengenai prosedur konsultasi saat terjadi krisis regional, skenario respons bila jalur pelayaran strategis terganggu, hingga koordinasi dalam situasi kemanusiaan.
Kedua negara juga diharapkan menempatkan ASEAN sebagai kerangka acuan sehingga perjanjian 2025 tidak dipersepsikan sebagai langkah yang melampaui arsitektur kawasan. Melalui pendekatan ini, Indonesia dan Australia dapat memperkuat implementasi ASEAN Outlook on the Indo-Pacific, terutama dalam isu keamanan maritim dan stabilitas rute perdagangan.
Melalui serangkaian langkah tersebut, perjanjian keamanan Australia-Indonesia 2025 dipandang tidak hanya sebagai penguatan hubungan dua negara, tetapi juga sebagai kontribusi terhadap stabilitas Indo-Pasifik yang lebih inklusif dan dapat diprediksi. Perjanjian ini sekaligus menandai kesediaan kedua negara untuk menjaga keseimbangan kepentingan di kawasan yang semakin kompleks.
Komentar Anda :