Riau12.com-JAKARTA - Cuaca ekstrem yang melanda beberapa wilayah dunia tak hanya membawa bencana, tapi juga perubahan tak terduga di salah satu tempat paling kering di bumi.
Gurun Sahara, yang selama ini identik dengan padang pasir tandus dan kekeringan, kini menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Tanaman mulai tumbuh di wilayah selatan gurun tersebut setelah banjir besar yang disebabkan badai musim panas.
Satelit terbaru berhasil menangkap pemandangan hijau di Sahara selatan, yang biasanya gersang dan tandus.
Menurut data dari Pusat Prediksi Iklim NOAA, curah hujan yang luar biasa tinggi tercatat di beberapa wilayah, membuat Sahara menjadi lebih basah daripada biasanya.
Seorang peneliti iklim dari Universitas Leipzig, Jerman, menjelaskan, fenomena ini disebabkan pergeseran Zona Konvergensi Intertropis (ZKI), yang dipicu transisi antara fenomena iklim El Nino dan La Nina.
“Zona Konvergensi Intertropis, yang menyebabkan penghijauan ini, bergerak lebih jauh ke utara seiring dengan semakin hangatnya dunia. Ini merupakan pola yang sesuai dengan prediksi dari model iklim yang ada,” ungkap Haustein dilansir detik.com, Minggu (15/9/2024).
Biasanya, ZKI bergerak ke utara saat musim panas di belahan bumi utara dan kembali ke selatan di bulan-bulan hangat belahan bumi selatan.
Namun, pada tahun ini, zona tersebut bergerak lebih jauh ke utara daripada yang seharusnya, sehingga membawa badai dan hujan ke wilayah Sahara selatan, termasuk negara seperti Niger, Chad, Sudan, hingga Libya.
Menurut laporan Haustein, transisi dari El Nino yang umumnya mengeringkan wilayah Afrika Barat dan Tengah, menuju La Nina atau kondisi yang hampir berkembang, telah mempengaruhi pergeseran ini.
Akibatnya, curah hujan di Sahara selatan mencapai 400 persen lebih tinggi dari normal.
Fenomena ini tidak hanya menyebabkan penghijauan di gurun, tetapi juga berdampak besar pada negara-negara di Afrika yang biasanya tidak menerima curah hujan sebanyak ini.
Negara-negara seperti Niger dan Chad kini menghadapi banjir besar yang menghancurkan banyak infrastruktur dan menyebabkan korban jiwa.
Menurut laporan PBB, Chad mengalami banjir dahsyat yang menewaskan sedikitnya 340 orang dan mempengaruhi 1,5 juta orang selama musim panas ini.
Banjir mematikan juga menghantam Sudan, mengakibatkan lebih dari 132 orang tewas dan lebih dari 12.000 rumah hancur.
Haustein juga menegaskan, fenomena cuaca ekstrem seperti banjir ini kemungkinan besar memiliki jejak perubahan iklim.
Saat suhu bumi terus meningkat, atmosfer mampu menahan lebih banyak uap air, yang pada akhirnya meningkatkan intensitas musim hujan dan berpotensi menyebabkan banjir yang lebih parah.
“Setiap peristiwa tunggal dipengaruhi perubahan iklim. Meskipun tidak ada satu pun banjir yang secara langsung disebabkan oleh perubahan iklim, perubahan iklim meningkatkan kemungkinan terjadinya peristiwa seperti ini,” tukasnya.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan seberapa besar perubahan iklim berperan dalam setiap peristiwa cuaca ekstrem ini.
Namun jelas, dunia perlu bersiap menghadapi lebih banyak fenomena cuaca tak terduga di masa depan.(***)
Sumber: halloriau
Komentar Anda :