Riau12.com-PEKANBARU – Pemerintah Kota Pekanbaru dinilai gagal melaksanakan pengelolaan sampah sesuai Putusan Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru Nomor 262/Pdt.G/2021/PN Pbr. Kegagalan itu terlihat dari meningkatnya timbulan sampah plastik di badan jalan, ketiadaan fasilitas pemilahan di Tempat Pembuangan Sementara (TPS), hingga ancaman serius bagi kesehatan dan lingkungan.
Kebijakan pembentukan Lembaga Pengelola Sampah (LPS) di 83 kelurahan dinilai tidak menyentuh akar persoalan. LPS hanya fokus pada pengumpulan dan pengangkutan sampah, sementara aspek pengurangan dan pemilahan dari sumber masih terabaikan.
Lebih jauh, penutupan sejumlah TPS justru memicu munculnya TPS ilegal dan titik-titik sampah liar. Hasil pemantauan Walhi Riau mencatat tumpukan sampah muncul di berbagai lokasi, di antaranya Gang Anggur II Kelurahan Wonorejo, Jalan Kaharuddin Nasution Kecamatan Bukit Raya, Jalan Teropong Kecamatan Tuah Madani, Jalan Nelayan Kecamatan Rumbai, Jalan Tanjung Datuk Kecamatan Rumbai, Jalan Arwana dan Jalan Gulama Kecamatan Marpoyan Damai.
Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim Walhi Riau, Ahlul Fadli, menilai penyebaran TPS di Pekanbaru tidak sejalan dengan Permen PUPR No. 3/2013 maupun Perwako Pekanbaru No. 28 Tahun 2023.
“Kurangnya sosialisasi mengenai pengurangan, pemilahan, serta kebijakan larangan sampah organik ke TPA membuat timbulan sampah semakin meningkat. Kebijakan yang ada hanya memindahkan sampah, bukan mencegah dari sumbernya,” tegas Ahlul.
Data Walhi menyebut lokasi TPS di Pekanbaru terus berubah tanpa evaluasi. Pada 2020 tercatat 61 titik, naik menjadi 139 titik pada 2022, berkurang menjadi 63 titik pada 2023, lalu kembali meningkat menjadi 87 titik pada 2025. Penempatan tanpa perencanaan berisiko memperburuk pencemaran udara, air, dan tanah.
Abaikan Putusan Pengadilan
Sri Wahyuni, penggugat dalam kasus persampahan di Pekanbaru, mengingatkan PN Pekanbaru telah memerintahkan pemerintah memperbaiki sistem pengelolaan sejak 1 Agustus 2022. Namun hingga kini, kebijakan pengurangan sampah dari sumber masih lemah, aturan pembatasan plastik sekali pakai belum ada, dan TPA Muara Fajar tetap beroperasi dengan sistem open dumping.
“Kurangnya tanggung jawab dalam melaksanakan putusan ini mengikis kepercayaan publik. Pemerintah harus membuat aturan pembatasan plastik sekali pakai, menyiapkan sarana memadai, dan mengalokasikan anggaran khusus,” ujar Ayu.
Ia menambahkan, pelibatan masyarakat sangat penting melalui edukasi partisipatif agar pengelolaan sampah tidak hanya membebani anggaran daerah.
TPA Muara Fajar 2 Kian Krisis
Kondisi TPA Muara Fajar 2 semakin memprihatinkan. Timbunan sampah menimbulkan bau menyengat, mencemari tanah dan air, serta melepaskan gas metana yang memperburuk krisis iklim. Minimnya sistem modern mencerminkan kegagalan pemerintah memprioritaskan solusi berkelanjutan.
Pada Juli–Agustus 2025, Pemko Pekanbaru mencoba mendorong proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik dengan mengirim pejabat meninjau sistem serupa di Chongqing, Tiongkok. Namun langkah ini menuai kritik.
Menurut Ahlul Fadli, teknologi tersebut justru memperbesar ketergantungan pada produksi sampah.
“Kebijakan ini berisiko memperburuk kesehatan dan lingkungan. Proses pembakaran menghasilkan dioksin yang bersifat karsinogenik. Pemerintah seharusnya fokus pada pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu ke hilir serta mendorong regulasi pengurangan produksi sampah dari produsen,” pungkasnya.
Komentar Anda :