Pemangkasan Dana Daerah Terbesar dalam 10 Tahun, Ini Kritik Akademisi Hukum Tata Negara
Riau12.com-Jakarta – Dua puluh lima tahun setelah reformasi menjanjikan desentralisasi, kekuasaan daerah kembali menghadapi tantangan baru bukan lewat perintah politik, melainkan lewat pena kebijakan fiskal.
Dalam APBN 2025, pemerintah menetapkan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar sekitar Rp919,8 triliun. Namun, pada tahun anggaran 2026, pemerintah justru mengusulkan penurunan alokasi menjadi sekitar Rp650 triliun, sebelum akhirnya naik sedikit menjadi Rp693 triliun dalam pembahasan bersama DPR.
Artinya, tetap terjadi pemangkasan lebih dari Rp220 triliun, penurunan terbesar dalam satu dekade terakhir.
“Pemangkasan sebesar ini bukan sekadar efisiensi, tetapi bentuk baru sentralisasi fiskal. Otonomi daerah yang dijamin konstitusi berpotensi tinggal nama,” ujar Firdaus Arifin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan dan Sekretaris Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Barat, kepada wartawan, Kamis (9/10/2025).
Paradoks Fiskal di Era Otonomi
Pemerintah menyebut kebijakan itu sebagai bagian dari “penataan transfer berbasis kinerja”, dengan alasan agar daerah lebih efisien dan akuntabel. Namun, menurut Firdaus, konsep tersebut seringkali tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
“Kinerja daerah tidak bisa hanya diukur dari serapan anggaran. Banyak daerah dengan PAD kecil seperti Maluku, NTT, atau Papua Barat justru kesulitan mencapai indikator pusat karena infrastruktur dan kapasitas fiskalnya terbatas,” tegasnya.
Sejumlah gubernur dari Sumatera hingga Papua juga diketahui telah menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada awal Oktober 2025 untuk menyampaikan keberatan atas rencana pemotongan TKD. Mereka menilai kebijakan itu tidak transparan dan berpotensi mengganggu pelayanan dasar publik.
“Gaji ASN, tunjangan kinerja, bahkan program sosial di banyak daerah bergantung pada dana transfer pusat,” ujar salah satu kepala daerah yang enggan disebutkan namanya.
Keadilan Fiskal Dipertanyakan
Firdaus menjelaskan, pemotongan TKD tanpa parameter objektif bisa dianggap melanggar asas keadilan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 18, 23A, dan 23C UUD 1945, yang menegaskan bahwa hubungan keuangan pusat-daerah harus dijalankan atas asas keadilan dan keseimbangan.
“Negara boleh berhemat, tapi tidak boleh menghemat keadilan. Bila kebijakan fiskal justru memperlebar kesenjangan, itu penyimpangan dari amanat konstitusi,” kata Firdaus.
Menurut data Kementerian Keuangan, daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi seperti Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur masih bisa bertahan. Namun, Aceh, Maluku, NTT, dan Papua Barat yang hidup dari transfer pusat mulai kewalahan.
Sentralisasi Baru dalam Wajah Anggaran
Ironisnya, di saat TKD dipangkas, belanja kementerian/lembaga (K/L) di daerah justru meningkat dari sekitar Rp900 triliun menjadi Rp1.300 triliun pada tahun depan.
Pemerintah menyebut hal ini sebagai “penguatan peran K/L dalam pembangunan daerah”. Namun, Firdaus menilai kebijakan itu justru menunjukkan dominasi fiskal pusat.
“Sekarang pusat tak perlu lagi memerintah daerah secara langsung. Cukup lewat anggaran. Polanya sama seperti Orde Baru, hanya bahasanya yang berubah,” ujarnya.
Dampak Langsung ke Pelayanan Publik
Sejumlah daerah disebut mulai menunda program sosial dan memotong Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) antara 2–5 persen, seperti yang dilakukan Provinsi Banten melalui APBD Perubahan 2025. Beberapa bahkan menunda pembayaran gaji tenaga kontrak atau honorer.
“Ini bukan lagi soal angka, tapi soal kepercayaan fiskal antara pusat dan daerah. Ketika kepercayaan itu hilang, maka ruh otonomi ikut terkikis,” tegas Firdaus.
Seruan untuk Dialog Fiskal Nasional
Firdaus menyerukan agar kebijakan fiskal pusat tidak menjadi monolog, melainkan dialog yang melibatkan pemerintah daerah, DPR, dan asosiasi kepala daerah (Apkasi, Apeksi, ADPSI).
“Redefinisi kinerja dan forum dialog fiskal harus menjadi prioritas. Tanpa itu, hubungan keuangan pusat-daerah akan terus timpang,” ujarnya menutup.
Pemangkasan TKD 2026 kini menjadi ujian bagi komitmen negara terhadap amanat reformasi. Bagi banyak daerah, otonomi tidak sekadar kata, melainkan napas kehidupan pemerintahan lokal.
Ketika ruang fiskal menyempit, otonomi pun perlahan kehilangan maknanya.
Komentar Anda :