Riau12.com-Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membongkar praktik korupsi yang mencederai nilai suci ibadah haji. Temuan terbaru menunjukkan adanya jaringan korupsi terstruktur dan sistematis dalam pengelolaan kuota haji 2024, yang melibatkan biro perjalanan hingga oknum pejabat di Kementerian Agama (Kemenag).
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu , menegaskan, aliran dana bermula dari biro perjalanan haji kepada oknum Kemenag, sebelum akhirnya terkumpul pada satu “pengepul utama”.
“Ya pasti ujungnya pada satu orang, pada pengumpul utama,” kata Asep, Senin (29/9/2025).
Modus Korupsi Kuota Haji
Setiap biro perjalanan diduga harus menyetor antara USD 2.600–7.000 (Rp42–115 juta) per jemaah untuk mendapatkan kursi haji khusus. Dana dikumpulkan berjenjang melalui asosiasi hingga pejabat di Kemenag, termasuk pelaksana, Dirjen, bahkan pejabat lebih tinggi. Untuk menyamarkan aliran uang, dana dialirkan melalui perantara seperti kerabat atau staf ahli.
Pengusutan bermula dari SK Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024, yang menetapkan tambahan 20.000 kuota haji: 10.000 untuk reguler dan 10.000 untuk haji khusus. Padahal, UU No. 8 Tahun 2019 mengatur seharusnya 92% kuota untuk haji reguler dan hanya 8% untuk haji khusus, membuka celah jual-beli kursi haji dan pungutan liar.
Barang Bukti dan Kerugian Negara
KPK telah menyita berbagai barang bukti, antara lain:
* Uang tunai Rp26,3 miliar
* Empat mobil
* Lima bidang tanah dan bangunan
* Dua rumah mewah di Jakarta Selatan senilai Rp6,5 miliar
Kerugian negara diperkirakan lebih dari Rp1 triliun, dan KPK membuka peluang penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Pemeriksaan Saksi
Mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, sudah dua kali diperiksa KPK dan dikenai larangan bepergian ke luar negeri. Salah satu saksi, Ustaz Khalid Basalamah, pemilik biro perjalanan Uhud Tour, mengaku dipaksa membayar tambahan USD 1.000 per jemaah untuk 37 orang karena ancaman penghentian proses visa. Dana sebagian dikembalikan dan diserahkan ke KPK sebagai bukti kooperatif.
Publik Geram
Kasus ini memicu kemarahan publik karena menyangkut hak jemaah haji. Banyak calon jemaah merasa dirugikan secara moral maupun finansial. KPK menegaskan akan terus mendalami kasus ini, termasuk siapa yang merancang SK serta apakah kebijakan itu merupakan inisiatif internal atau arahan pimpinan.
Komentar Anda :