Riau Hadapi Paradoks Ketahanan Pangan, Masih Bergantung Pasokan dari Sumbar dan Sumut
Riau12.com-PEKANBARU – Pemerintah Provinsi Riau mengakui masih menghadapi paradoks dalam ketahanan pangan meski dianugerahi sumber daya alam yang melimpah. Ketergantungan pada pasokan dari daerah lain, seperti Sumatera Barat dan Sumatera Utara, membuat Riau rentan terhadap fluktuasi harga, dengan inflasi beberapa waktu terakhir banyak disumbang oleh komoditas cabai.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Daerah Provinsi Riau, Syahrial Abdi, sebagai keynote speaker dalam talkshow bertema “Strategi Menciptakan Ketahanan Pangan Non APBD yang Dapat Meningkatkan PAD Riau-Peluang dan Tantangan Optimalisasinya” di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau, Kamis, 4 Desember 2025.
“Kita masih punya kawasan hutan yang luas dengan berbagai macam isu di sana. Kemudian, belum optimalnya produksi pangan lokal, masih terdapat daerah rentan pangan dan ketergantungan dari daerah lain termasuk dinamika inflasi pangan yang masih memerlukan penguatan pengendalian,” ujar Syahrial.
Data yang dipaparkan menunjukkan produksi pangan strategis Riau pada 2024 masih di bawah tingkat konsumsi. Produksi beras tercatat 127.439 ton atau sekitar 22 persen dari kebutuhan, cabai 9.047 ton atau sekitar 29 persen, dan telur 5.548 ton atau sekitar 10 persen. Hanya produksi daging ruminansia dan unggas yang sudah di atas 68 persen dari konsumsi.
Meski demikian, Indeks Ketahanan Pangan Provinsi Riau menunjukkan progres dengan tumbuh 2,14 persen, dari status “agak tahan” pada 2019 dengan skor 63,37 menjadi “tahan pangan” pada 2024 dengan skor 70,42.
Syahrial menyebut sejumlah tantangan pada aspek ketersediaan, antara lain keterbatasan lahan baku sawah yang hanya 59.181 hektar dengan produktivitas masih rendah, irigasi belum optimal, perubahan iklim ekstrem, hingga menurunnya animo petani akibat biaya produksi tinggi dan harga jual rendah. Pada aspek keterjangkauan, masih ada daerah rentan pangan akibat banyaknya masyarakat berpenghasilan rendah dan akses infrastruktur yang belum memadai.
Menghadapi keterbatasan ruang fiskal APBD, Syahrial menekankan perlunya kebijakan strategis yang inovatif melalui pembiayaan non-APBD. “Kita harus mengambil kebijakan strategis yang inovatif dalam pembangunan, seperti pembiayaan non-APBD melalui APBN, swasta, dan lembaga keuangan,” katanya.
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan, menurut Syahrial, antara lain menyusun rencana aksi untuk meningkatkan produksi pangan lokal melalui skema pembiayaan APBN, optimalisasi kerja sama antardaerah, serta peningkatan peran BUMD Pangan dalam penguatan rantai pasok dan stabilisasi harga untuk menghasilkan Pendapatan Asli Daerah.
“Kita bisa menjalin kemitraan strategis dengan swasta, baik industri pangan, sektor logistik maupun lembaga keuangan. Serta memberdayakan UMKM pangan, koperasi, dan BumDes yang terhubung dengan pasar modern,” tambahnya.
Ia berharap forum diskusi tersebut tidak hanya menjadi percakapan, tetapi melahirkan rekomendasi kebijakan konkret yang dapat dijabarkan dalam program prioritas oleh organisasi perangkat daerah terkait, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang, guna mewujudkan kemandirian pangan yang berkelanjutan.
Komentar Anda :