Riau12.com-JAKARTA – Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2025 sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) masih memungkinkan untuk ditunda. Penundaan ini dapat dilakukan melalui mekanisme Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau revisi UU oleh DPR RI.
Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekaligus tokoh Gerakan Nurani Bangsa, menyatakan bahwa Perppu bisa menjadi solusi jika Presiden Prabowo Subianto ingin menunda kenaikan PPN. "Ya, bisa (ditunda) dengan perppu. Perppu adalah peraturan pemerintah pengganti undang-undang," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Sabtu (28/12/2024).
Namun, Erry mengingatkan bahwa penerbitan Perppu memerlukan syarat adanya kegentingan yang memaksa. "Perppu hanya bisa diterbitkan apabila negara dalam situasi genting yang memaksa. Kata-kata tepatnya itu, kegentingan yang memaksa," tegas Erry.
Selain itu, Perppu yang diterbitkan Presiden harus mendapatkan persetujuan dari DPR RI dalam waktu tiga bulan. Jika tidak mendapat tanggapan dari DPR, Perppu otomatis berlaku. Namun, jika ditolak, maka Perppu tersebut harus dibatalkan.
Sementara itu, tokoh Gerakan Nurani Bangsa lainnya, Lukman Hakim Saifuddin, menyebut revisi UU oleh DPR RI juga dapat menjadi langkah alternatif untuk menunda kenaikan PPN. "Pengalaman DPR sudah menunjukkan bahwa beberapa undang-undang dapat direvisi dalam waktu singkat. Jadi tanpa perlu Perppu, revisi UU sebenarnya bisa dilakukan untuk merespons aspirasi masyarakat," ujar eks Menteri Agama tersebut.
Lukman menekankan bahwa kenaikan PPN akan berdampak signifikan pada masyarakat kelas menengah dan bawah, yang saat ini sudah menghadapi tekanan ekonomi. "Kenaikan PPN ini langsung menyentuh kelas menengah dan bawah. Hal ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR," katanya.
Ia menambahkan, revisi UU dapat menjadi langkah cepat dan efektif untuk menunda kenaikan PPN sambil mencari solusi yang lebih adil. "Revisi UU dalam hitungan hari dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat tanpa menimbulkan kegaduhan hukum seperti yang mungkin terjadi dengan Perppu," jelas Lukman.
Rencana kenaikan PPN ini sebelumnya telah menuai kritik dari berbagai kalangan karena dinilai memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah. Banyak pihak mendesak pemerintah untuk mencari alternatif, seperti menaikkan pajak orang kaya atau memperbaiki pengelolaan pajak.
Kebijakan fiskal yang berdampak luas seperti ini memerlukan pertimbangan matang, terutama dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan negara dan kesejahteraan masyarakat.(***)
Sumber: Goriau
Komentar Anda :