www.riau12.com
Rabu, 29-Oktober-2025 | Jam Digital
16:30 WIB - Emas Antam Terjun ke Rp2,28 Juta per Gram, Koreksi Dua Hari Beruntun Usai Cetak Rekor ATH | 15:50 WIB - Tanoto Foundation Gandeng Media Dorong Literasi dan Numerasi Siswa di Riau Menuju Indonesia Emas 2045 | 15:34 WIB - Belasan ASN Terjaring Razia Satpol PP Riau Saat Nongkrong di Warung Kopi pada Jam Kerja | 15:24 WIB - DPD PDI Perjuangan Riau Tunda Konferda Atas Instruksi DPP, Mekanisme Internal Tetap Berjalan | 15:20 WIB - LSM Tantang DPRD Riau Buktikan Keseriusan Bentuk Pansus Plasma 20 Persen HGU Perkebunan | 15:10 WIB - DPRD Riau Minta Pemprov Segera Susun KUA PPAS APBD Murni 2026, Tak Ingin Terburu-buru
 
Dimanakah Demokrasi?, Pemilihan Gubernur Jakarta Akan Ditunjuk Langsung Presiden
Selasa, 02-01-2024 - 13:29:31 WIB

TERKAIT:
   
 

Riau12.com-PEKANBARU - Dalam rapat paripurna yang digelar 5 Desember 2023 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) telah membahas tentang Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang meliputi tata kelola, batas-batas, dan kewenangan Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibukota negara.

RUU DKJ terdiri dari 12 bab dan 72 pasal yang mengatur berbagai aspek tentang masa depan Jakarta. Dalam Pasal 3 ayat (2) RUU DKJ, Jakarta digambarkan sebagai pusat perekonomian, kegiatan jasa, keuangan, bisnis nasional, regional, dan global.

Dari semua pasal tersebut, ada satu pasal yang secara khusus memicu kontroversi yaitu Pasal 10 ayat (2). Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Gubernur dan Wakil Gubernur, dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD DKJ. Ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi erosi demokrasi di Indonesia dan mulai timbul pemikiran apakah ini pertanda melemahnya demokrasi yang berlaku di Indonesia? Atau ini pertanda Indonesia akan kembali ke masa lalu? Berkaca dalam sejarah politik Indonesia, memang pernah menerapkan adanya sistem pemilihan kepala daerah melaui perwakilan.

Menurut UU No. 29 Tahun 2007, Jakarta diklasifikasikan sebagai daerah khusus ibukota negara. Jakarta mengikuti struktur pemerintahan yang sama dengan daerah otonom lainnya yaitu memiliki Gubernur dan Wakil Gubernur yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah.

Namun, penting untuk dicatat bahwa jika ibukota negara dipindahkan dan  Jakarta menjadi daerah otonomi khusus, UU No. 9 Tahun 2015 perubahan kedua UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang menyatakan bahwa "Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia." Frasa "berdasarkan aspirasi masyarakat" tidak akan dapat diartikan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang berarti pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tidak dapat diwakilkan dan berpegang teguh terhadap demokrasi yang seutuhnya.

Sebagaimana juga yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis untuk mengisi jabatan kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Juga Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dilakukan melalui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat di daerah tersebut.

Bukankah hal ini dapat dianggap sebagai sebuah pelanggaran dan mencederai ketetapan hukum di Indonesia? Pasal-pasal tersebut jelas telah diobrak-abrik dan diabaikan sebagai bentuk pencapaian keinginan pihak-pihak elite politik.

Jakarta tidak dapat disamakan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki sistem pemerintahan khusus di mana Gubernur dan Wakil Gubernurnya tidak dipilih melalui Pilkada, melainkan diangkat berdasarkan tradisi kesultanan dan kadipaten yang dipegang teguh sejak Indonesia belum merdeka.

Ini tidak melanggar konstitusi, karena ada pengecualian yang digariskan dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang menetapkan bahwa keistimewaan Yogyakarta berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang memiliki wilayah, pemerintahan dan penduduk sebelum Indonesia merdeka dan berperan penting dalam menjaga keutuhan NKRI.

RUU DKJ yang telah disahkan menjadi usulan inisiatif DPR RI pada rapat paripurna ke-10  ini akan melemahkan sistem hukum dan menghalangi proses demokrasi. Kita semua tahu bahwa kebebasan untuk berpartisipasi dalam pemilihan langsung memungkinkan setiap orang untuk terlibat sebagai pemilih dan pengawas dan merepresentasikan hak serta kewajiban sebagai masyarakat Indonesia. Pengawasan ini menjamin bahwa para pemimpin atau perwakilan yang dipilih oleh publik bertanggung jawab kepada konstituen mereka.

Dikutip dari okezone.com, Achmad Baidowi, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, menyatakan bahwa Presiden mengangkat dan memberhentikan Gubernur DKI Jakarta berdasarkan usulan atau pendapat dari DPRD. DPRD akan melakukan sidang untuk memutuskan nama-nama yang akan diusulkan yang mencerminkan proses demokrasi. Para pendukung RUU DKJ juga berpendapat bahwa status Jakarta adalah daerah khusus membutuhkan struktur pemerintahan yang berbeda dengan daerah lain.

Mereka berpendapat bahwa Gubernur yang ditunjuk oleh presiden dapat meningkatkan efektivitas, kerja sama, dan transparansi administrasi DKJ, sekaligus mengurangi biaya tinggi yang terkait dengan pemilihan kepala daerah. Mereka juga berpendapat bahwa penunjukan Gubernur tetap menyertakan partisipasi DPRD DKJ sebagai Wakil Rakyat, oleh karena itu tidak bertentangan dengan konstitusi.

Namun, alasan-alasan tersebut tidak cukup untuk meyakinkan warga Jakarta dan Indonesia bahwa RUU DKJ merupakan langkah yang tepat untuk memajukan demokrasi dan kesejahteraan di DKJ. Usulan yang dilakukan oleh DPRD memiliki makna bahwa Pemimpin atau Wakil Rakyat dipilih oleh Wakil Rakyat, bukan dipilih langsung oleh rakyat, yang mungkin tidak secara akurat mewakili keinginan dan keprihatinan masyarakat.

Karena para pemimpinlah yang pada akhirnya akan menentukan nasib masyarakat serta negara dimasa mendatang.  Pernyataan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tersebut juga mendorong timbulnya pertanyaan baru  mengenai transparansi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan kredibilitas serta legitimasi proses pemilihan kepala daerah.

Penunjukan gubernur tidak hanya memperkuat prevalensi terhadap politik dinasti yang sedang menjadi isu dan sorotan di Indonesia, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi konflik kepentingan dan nepotisme. Hal ini juga mengurangi keterlibatan, penggambaran, dan ambisi politik dari 10.679.951 penduduk Jakarta. Pemberian kewenangan eksklusif kepada pemerintah dapat menimbulkan potensi terbukanya pintu bagi campur tangan politik pusat, membatasi ruang bagi keterlibatan warga, yang berpotensi membahayakan hak-hak dasar dan kesejahteraan warga Jakarta.

Melemahkan representasi politik dan aspirasi masyarakat dalam pemerintahan dapat berakibat pada munculnya pemimpin dan pejabat yang korup, otoriter, dan eksklusif. Bahkan, memiliki potensi juga dalam mengubah kerangka demokrasi yang seharusnya.

Mengingat tidak adanya urgensi dalam pengesahan RUU DKJ dan banyaknya kontroversi yang muncul di masyarakat seputar ketentuan-ketentuan yang dianggap mengurangi kewenangan dan keterlibatan masyarakat Jakarta. Sangatlah penting untuk mempertimbangkan keinginan masyarakat yang beragam dan terus berubah untuk mencapai keseimbangan yang harmonis antara memajukan pembangunan Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi, jasa, keuangan, dan bisnis nasional, regional, dan global. Serta potensi dampak sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan tersebut terhadap hak asasi manusia.

Maka itu, diperlukan evaluasi yang komprehensif dan pertimbangan yang matang RUU DKJ terutama Pasal 10 ayat (2)  karena tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Sangat penting untuk memastikan RUU DKJ ini tidak hanya menjadi produk gagal yang menimbulkan kesengsaraan bagi warga Jakarta dan menimbulkan lemahnya demokrasi yang merupakan aspek fundamental negara.

Demokrasi bukan sebuah angan atau hanya bentuk syarat imajinatif saja, demokrasi adalah cita-cita kita bersama dan tidak boleh kita tinggalkan karena demokrasi merupakan sarana yang paling efektif untuk memajukan sekaligus menyejahterakan bangsa dan negara Indonesia. Jangan sampai kita mengucapkan selamat tinggal kepada demokrasi.

Sumber: halloriau.com



 
Berita Lainnya :
  • Dimanakah Demokrasi?, Pemilihan Gubernur Jakarta Akan Ditunjuk Langsung Presiden
  •  
    Komentar Anda :

     
     
     
     
    TERPOPULER
    1 Anak SMA ini Mengaku Dengan "OM" atau "Pacar" Sama Enaknya, Simak Pengakuannya
    2 Azharisman Rozie Lolos Tujuh Besar Seleksi Sekdaprov Riau, 12 Orang Gugur
    3 Tingkatkan Pelayanan dan Tanggap dengan pengaduan masyarakat
    Lusa, Camat Bukit Raya Lauching Forum Diskusi Online
    4 Pemko Pekanbaru Berlakukan Syarat Jadi Ketua RT dan RW Wajib Bisa Operasikan Android
    5 Inilah Pengakuan Istri yang Rela Digarap 2 Sahabat Suaminya
    6 Astagfirullah, Siswi Di Tanggerang Melahirkan Di Tengah Kebun Dan Masih Memakai Seragam
    7 Lima Negara Ini Di cap memiliki Tingkat Seks Bebas Tertinggi
    8 Selingkuh, Oknum PNS Pemprov Riau Dipolisikan Sang Istri
    9 Langkah Cepat Antisipasi Banjir, PU Bina Marga Pekanbaru Lakukan Peremajaan Parit-parit
    10 Dosen Akper Mesum Dengan Mahasiswinya di Kerinci Terancam Dipecat
     
    Pekanbaru Rohil Opini
    Redaksi Disclaimer Pedoman Tentang Kami Info Iklan
    © 2015-2022 PT. Alfagaba Media Group, All Rights Reserved