Outlook 2026: Riau Diminta Lepas dari Ketergantungan Jalur Darat, Logistik Laut Dumai Jadi Kunci
Riau12.com-PEKANBARU – Provinsi Riau dituntut segera keluar dari ketergantungan total terhadap jalur logistik darat Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Pada tahun 2026 mendatang, Riau diharapkan sudah mampu membangun kemandirian logistik, terutama melalui pengaktifan jalur darurat lintas laut via Pelabuhan Dumai.
Pengamat ekonomi Universitas Riau, Dahlan Tampubolon, menegaskan bahwa Riau tidak boleh lagi menjadi provinsi yang tersandera oleh putusnya jalur distribusi darat. Menurutnya, kemandirian logistik harus menjadi prioritas utama dalam perencanaan pembangunan ekonomi Riau ke depan.
“Untuk outlook 2026, Riau wajib bermental independen. Kita harus mengurangi ketergantungan total pada jalur darat Sumut dan Sumbar. Solusi konkretnya adalah jalur logistik darurat lintas laut. Riau harus memastikan arus komoditas pangan dari Jawa atau Sumatera Selatan bisa masuk secara masif melalui Pelabuhan Dumai menggunakan kapal roro,” ujar Dahlan kepada GoRiau, Minggu (14/12/2025).
Ia menilai, tahun 2025 menjadi periode guncangan ekonomi terberat bagi Riau. Bencana alam yang terjadi di provinsi tetangga langsung berdampak besar terhadap kondisi ekonomi daerah. Terputusnya jalur logistik darat membuat pasokan pangan terganggu dan mendorong lonjakan harga kebutuhan pokok.
“Harga cabai yang sempat menembus Rp140 ribu per kilogram bukan sekadar persoalan mahalnya harga. Itu adalah simbol kegagalan sistem ketahanan pangan Riau. Kita tidak punya bantalan ketika terjadi gangguan pasokan dari luar,” tegasnya.
Secara ekonomi mikro, Dahlan menjelaskan, pasar di Riau mengalami tekanan berat. Ketika jalur distribusi terputus, penawaran langsung merosot drastis sementara permintaan tetap tinggi. Kondisi tersebut mendorong lonjakan harga secara ekstrem, yang kemudian diperparah oleh praktik spekulasi.
“Kurva penawaran bergeser ke kiri secara ekstrem. Harga keseimbangan melonjak, daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah hancur. Spekulan memanfaatkan situasi dan negara gagal hadir tepat waktu,” katanya.
Dari sisi makro, Riau juga dinilai menjadi korban lambannya respons kebijakan nasional. Meskipun Bulog memiliki stok pangan, distribusi tidak bisa segera dilakukan karena terhambat regulasi dan birokrasi.
“Di tengah krisis, seharusnya ada komando tunggal darurat pangan. Tapi yang terjadi justru koordinasi berbelit. Ini kegagalan kebijakan makro,” ujar Dahlan.
Ia juga menyinggung peran Badan Usaha Milik Daerah pangan, PT Riau Pangan Bertuah (RPB), yang dinilainya belum berfungsi optimal selama krisis. Menurut Dahlan, RPB belum mampu menjadi penyangga harga maupun pengendali pasar.
“RPB hanya melakukan operasi pasar kecil-kecilan. Padahal Riau butuh BUMD pangan yang punya modal kuat dan keberanian untuk membanjiri pasar dengan stok bersubsidi saat harga sudah tidak rasional, agar monopoli spekulan bisa dipatahkan,” jelasnya.
Untuk tahun 2026, Dahlan menekankan bahwa RPB harus memiliki rantai pasok sendiri dan tidak lagi bergantung pada pasar lokal Riau. Dana APBD perlu dialokasikan agar RPB bisa mengamankan pasokan langsung dari produsen di luar daerah dan berperan sebagai penyeimbang harga di pasar.
Selain itu, pemulihan ekonomi jangka panjang juga harus difokuskan pada penciptaan pasokan lokal. Pemerintah daerah didorong serius menggarap lahan tidur melalui intensifikasi pertanian, khususnya untuk komoditas sensitif seperti cabai dan bawang, dengan dukungan irigasi dan subsidi benih.
“Ini cara paling efektif untuk mengurangi risiko guncangan pasokan regional dan memperkuat fondasi ekonomi mikro Riau,” ungkapnya.
Tak kalah penting, Dahlan menilai perlu adanya perombakan total dalam struktur kebijakan penanganan bencana. Saat terjadi krisis, Riau harus memiliki komando krisis tunggal dengan kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan logistik dan fiskal, tanpa harus terhambat izin berlapis dari pemerintah pusat.
“Bencana 2025 adalah pelajaran mahal. Outlook 2026 harus fokus pada kecepatan respons, kemandirian logistik laut, dan penguatan RPB. Jika tiga hal ini tidak dibenahi, harga cabai Rp140 ribu bisa menjadi harga normal setiap kali hujan deras datang,” pungkas Dahlan.
Komentar Anda :