Ketika Zikir Tak Lagi Menenangkan Hati, Al-Ghazali Ungkap Penyebabnya dalam Ihya’ ‘Ulumuddin Sabtu, 25/10/2025 | 14:32
Riau12.com-Zikir secara etimologis berasal dari bahasa Arab, dzikr, yang berarti menyebut atau mengingat. Dalam konteks ajaran Islam, zikir diartikan sebagai menyebut dan mengingat Allah, baik dengan lisan melalui kalimat-kalimat thayyibah maupun dengan kesadaran hati yang mendalam.
Namun, esensi zikir sejatinya tidak berhenti pada gerak lisan. Hakikat zikir terletak pada kesadaran penuh bahwa Allah selalu hadir dan mengawasi setiap langkah manusia. Kesadaran ini akan menuntun seseorang untuk hidup dengan penuh ketenangan, kejujuran, dan tanggung jawab moral.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS Ar-Ra’d: 28).
Ayat ini menegaskan bahwa ketenangan sejati hanya dapat diperoleh dari zikir yang hidup dalam kesadaran, bukan sekadar ucapan. Karena itu, zikir tidak hanya dilakukan di masjid, mushala, atau forum keagamaan, tetapi seharusnya melekat dalam setiap aktivitas manusia dalam bekerja, berdagang, mengajar, bermusyawarah, maupun mengambil keputusan.
Meski demikian, sebagian orang merasa hatinya tetap gelisah meskipun telah berzikir. Imam al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulumuddin menjelaskan rahasia di balik hal ini melalui pembahasan tentang aja’ib al-qalb (keajaiban hati).
Ia mengumpamakan zikir seperti seseorang yang menghardik anjing agar menjauh. Anjing itu akan pergi bila tidak menemukan makanan di sekitarnya. Namun, bila di sekitarnya ada tulang atau daging makanan kesukaannya anjing itu tidak akan pergi meski dihardik berulang kali. Ia mungkin menjauh sejenak, tapi akan kembali ketika keadaan lengah.
Demikian pula zikir, kata al-Ghazali, hanya akan efektif bila hati bersih dari makanan setan. Bila hati masih dipenuhi penyakit dan dosa, maka zikir sebanyak apa pun tidak akan mampu mengusir setan. Bahkan, setan bisa ikut berzikir di dalam hati manusia.
Al-Ghazali menegaskan, makanan setan adalah segala bentuk penyakit hati yang membuka pintu masuk bagi godaan. Salah satu pintu utama itu adalah al-hirts ambisi dan kerakusan yang berlebihan terhadap dunia.
Seseorang yang dikuasai kerakusan akan menjadi buta dan tuli mata hatinya. Ia rela melakukan apa saja demi memenuhi ambisinya, hingga cintanya kepada dunia menutup kesadaran spiritualnya. Rasulullah SAW telah mengingatkan bahwa kecintaan yang berlebihan kepada sesuatu dapat menjadikan seseorang buta dan tuli.
Inilah yang menyebabkan zikir kehilangan kekuatannya dan hati tetap gelisah meski lisan tak berhenti menyebut nama Allah. Sebab, zikir sejati bukan sekadar ucapan, melainkan kesucian hati yang terbebas dari nafsu dan penyakit batin.