Bila Hukum di Tangan Sang Pandir: Kisah Hakim, Kebodohan, dan Amanah Kepemimpinan Senin, 06/10/2025 | 13:41
Riau12.com-PEKANBARU – Dalam sejarah kepemimpinan dan penegakan hukum, kebodohan bukan sekadar tidak tahu. Yang berbahaya adalah orang yang sudah tahu tetapi enggan belajar atau merasa paling benar. Kisah klasik ini tercermin dalam riwayat Nabi Muhammad SAW saat mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, dan juga dalam kisah fiksi tentang hakim pandir yang salah memutus perkara.
Ahli hikmah mengingatkan, “Setiap kali ilmumu bertambah, engkau akan mengerti bahwa masih banyak hal yang belum engkau ketahui.” Nabi SAW mengajarkan, seorang hakim harus berilmu, jujur, dan bijaksana. Hadits menyebutkan bahwa hakim yang jujur berada di surga, sedangkan hakim yang zalim atau bodoh akan berada di neraka (HR Abu Daud).
Dalam kisah yang ditulis KH Abdurrahman Arrosi, seorang hakim baru yang pandir menangani kasus pencuri yang jatuh dari jendela rumah orang kaya. Karena ketidaktahuannya, hakim itu menimpakan hukuman salah sasaran, hingga orang yang tidak bersalah tukang celup nyaris menjadi korban.
Cerita ini mengingatkan pentingnya amanah, ilmu, dan integritas dalam kepemimpinan. Hakim jujur selalu menegakkan keadilan, berani berdiri di atas kebenaran, dan berpihak pada yang tertindas (QS al-Maidah [5]:8). Sebaliknya, hakim culas tergoda kepentingan pribadi, dan hakim pandir tidak kompeten justru membawa malapetaka bagi masyarakat (QS an-Nisa [4]:58).
Hikmah dari kisah ini jelas: kepemimpinan dan amanah harus diberikan kepada yang pantas. Rajin belajar, mendengar nasihat, membaca, dan bertanya kepada guru adalah jalan untuk menghindari kebodohan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Seperti kata Nabi SAW: “Segala puji bagi Allah yang telah menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah” (HR Abu Daud). Amanah, ilmu, dan kejujuran adalah kunci agar hukum dan kepemimpinan membawa maslahat, bukan petaka.