www.riau12.com
Jum'at, 29-Maret-2024 | Jam Digital
10:19 WIB - Pastikan Tak Ada Tunda Bayar, Pemko Pekanbaru Serahkan LKPD 2023 ke BPK | 10:14 WIB - Unik, Adidas Buat Sneakers Dari Kotak Sepatu | 10:09 WIB - Pemkab Kampar Gelar Rapat dengan SKK Migas dan KKKS, Bahas Pembangunan Bangkinang Riverside | 09:57 WIB - Sering Salah Tangkap, Intelijen Militer Israel Program Pengenalan Wajah Eksperimental di Gaza | 09:38 WIB - Pemprov Riau Akan Bangun Hotel di Kapasan Sipil Jakarta | 20:28 WIB - Hati-hati Pas Mudik, Berikut Daftar 48 Titik Rawan Kecelakaan di Riau
 
Asap dan Isu Keadilan
Senin, 21-09-2015 - 20:21:22 WIB

RIAU12.COM-Mungkin tidak banyak yang menyadari maksud ungkapan seorang penulis Amerika, Weiner, yang mengatakan: "Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang." Ungkapan ini sebenarnya sangat populer, namun acap kali orang menganggapnya bualan semata. Padahal, dampak perusakan alam begitu nyata mengancam masa depan bumi beserta penghuninya.

Hampir sebulan penuh asap tebal telah mengepung sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan. Aktifitas perekonomian warga terganggu, sekolah-sekolah diliburkan, penerbangan terpaksa ditunda hingga kematian beberapa anak akibat terlalu banyak menghirup asap. Kebakaran hutan benar-benar telah melumpuhkan aktifitas warga dan mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, terutama di daerah Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan. Laporan terbaru mengatakan lebih dari 20.000 warga terserang ISPA di Jambi.

Abai

Kebakaran hutan di Indonesia bukan kali ini terjadi, tetapi sudah berlangsung puluhan tahun silam dan terus berulang hingga kini. Namun demikian, selama puluhan tahun itu pula pemerintah telah abai terhadap bencana musiman, yang kebanyakan buatan tangan manusia, ini.

Yang terjadi adalah kebakaran hutan justru semakin meluas dari tahun ke tahun. Rekapitulasi kebakaran hutan per provinsi di Indonesia tahun 2010-2015 menurut data Kementerian Lingkungan Hidup pun menunjukkan hal itu. Di Provinsi Riau, luas areal hutan yang terbakar pada 2010 hanya 26 hektar dan meningkat seratus kali lipat menjadi 2.643 hektar pada 2015. Bahkan pada tahun 2014 lalu, kebakaran hutan di daerah itu mencapai 6.301,1 hektar.

Pembakaran hutan dan penghancuran eskosistem berimplikasi amat luas terhadap kehidupan. Hutan yang terdiri dari triliunan pohon adalah penyeimbang terhadap siklus iklim dan keberlangsungan makhluk hidup yang hidup di dalamnya.

Sebagai paru-paru bumi, hutan menyediakan oksigen yang dibutuhkan setiap yang bernafas di muka bumi ini dan menyerap gas karbon dioksida berbahaya hasil pembakaran minyak fosil dari mesin-mesin industri atau kendaraan. Menipisnya areal hutan di bumi telah mempercepat laju pemanasan global.

Penanaman sawit yang semakin luas akan memperburuk krisis lingkungan ganda baik perubahan iklim maupun lenyapnya keanekaragaman hayati. Para ilmuwan telah memperingatkan bahwa kenaikan suhu global harus berada di bawah 2°C (dibanding sebelum revolusi industri) untuk menghindari dampak perubahan iklim yang lebih parah. Bumi yang lebih hangat 2°C akan mengubah kehidupan yang kita jalani sekarang.

Dampak yang telah diprediksi antara lain adalah banjir yang lebih sering dan semakin besar, kekeringan, kelaparan serta runtuhnya ekosistem seperti hutan Amazon, punahnya 20-50% dari seluruh rumpun mahluk hidup dan meningkatnya permukaan air laut akibat lapisan es yang meleleh.

Menurut penelitian dari Masyarakat Zoologi London dan Universitas Anglia Timur, beberapa waktu lalu, 50 ribu mil persegi daerah dataran rendah tropis yang sebagian besar berada di Indonesia telah berubah menjadi perkebunan sawit. Daerah-daerah ini, dahulu ditutupi hutan rimba, habitat kehidupan liar daratan paling kaya di dunia, dan juga rumah dari sejumlah spesies paling langka di bumi. Kelapa sawit jelas tidak dapat menggantikan fungsi hutan-hutan rimba. Sebab, pohon kelapa sawit tidak sesuai dengan kemampuan hutan menyerap karbon dan gas partikel-partikel berbahaya yang ada di udara

Celakanya, alih fungsi hutan terus saja terjadi. Lebih dari satu juta hektar hutan, yang sebagian besar merupakan hutan tropis, hancur setiap bulannya di dunia. Artinya seluas satu lapangan sepakbola hutan hancur setiap dua detik. Ironisnya, pemerintah terkesan melakukan pembiaran terhadap perusakan hutan. Hal ini dibuktikan dengan lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku pembakaran dan perusak hutan.

Di era pemerintahan lalu, tidak ada satu pun korporasi yang dijadikan tersangka pembakar hutan. Hanya masyarakat kecil yang dijadikan tersangka, itupun hukumannya tidak sampai setahun.

Isu Keadilan

Perusakan alam, termasuk pembakaran hutan, adalah isu keadilan. Di satu pihak, segelintir orang menikmati kelimpahan dari hasil kekayaan alam, orang banyak justru harus menderita akibat kerusakan lingkungan yang mereka lakukan. Penderitaan rakyat pun terus berkelanjutan manakala penghancuran terus dibiarkan dengan dalih meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Padahal, pertumbuhan ekonomi sering tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Sistem ekonomi kapitalisme yang digagas negara-negara maju sebagai satu-satunya sistem perekonomian yang dianggap demokratis telah memicu percepatan penghancuran alam dan pengabaian kelestarian sumber-sumber kehidupan. Kapitalisme juga merusak tatanan hidup manusia karena akan memperlebar kesenjangan antara kaum miskin dan kaya.

Dengan sistem ekonomi kapitalis yang kita anut, perusahaan-perusahaan raksasa dapat menggerogoti kekayaan alam yang justru merugikan masyarakat nasional. Bahkan, sistem ini telah menjadi suatu bentuk baru imperialisme baru para kaum kapitalis.

Kaum kapitalis sedang berupaya mengintegrasikan masyarakat-masyarakat di seluruh dunia menjadi suatu lautan massa tanpa bentuk dimana individu-individu kehilangan kendali atas kehidupan mereka sendiri dan tunduk terhadap kegiatan-kegiatan  eksploitasi perusahaan-perusahaan ini.

LSM anti kemiskinan Oxfam pernah mengungkapkan bahwa orang terkaya di dunia yang jumlahnya 1 persen, sebentar lagi akan memiliki harta lebih banyak daripada harta yang dimiliki seluruh penduduk bumi. Jika kecenderungan saat ini terus berlanjut, satu persen penduduk dunia tersebut akan memiliki lebih dari 50 persen kekayaan yang ada dunia pada tahun 2016.

Hal ini disebabkan karena penguasaan sumber-sumber kehidupan dan kekuatan politik bertumpu ke tangan segelintir orang. Orang-orang ini bahkan mampu mendike negara dan mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk kepentingan mereka.

Pembakaran hutan harus dihentikan. Negara harus memegang kendali atas kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan yang dikandungnya. Bunyi UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, negara harus berdaulat atas sumber-sumber daya alam tanpa dipengaruhi kekuatan-kekuatan luar, apalagi korporasi swasta.

Sudah saatnya negara siapapun pemerintahnya bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan yang merusak alam untuk kepentingannya sendiri, baik pribadi maupun oknum yang mem-back-up. Kita juga perlu menyadarkan setiap orang bahwa siapapun dia tidak dapat memakan uang ketika pohon terakhir telah dimusnahkan.

Oleh: David Siagian




 
OPINI
Menabal Pada yang Patut, Datuk Seri Pembual Utama
OTT Kalapas Sukamiskin, Praktek Permisif Masif Di Lembaga Pemasyarakatan
Menghela Politik di Masa Tenang dalam Pilkada dan Pemilu
Harapan Pilkada Serentak 2018 Riau Tanpa Money Politik
Tanah Busuk itu Adalah Bali Oleh Saidul Tombang
GURU ZAMAN NOW By Fadriansyah
Ao dai; Hanya Ini yang Tersisa
Kejahatan dalam Kondisi Mabuk
 
Pekanbaru Rohil Opini
Redaksi Disclaimer Pedoman Tentang Kami Info Iklan
© 2015-2022 PT. Alfagaba Media Group, All Rights Reserved