www.riau12.com
Minggu, 19-Mei-2024 | Jam Digital
21:02 WIB - Pj Gubernur Ajak Masyarakat Riau di Perantauan Ikut Bangun Kampung Halaman | 19:55 WIB - Pemprov Riau Tingkatkan Pengelolaan Kelapa Sawit Berkelanjutan | 19:04 WIB - Hadirkan Promo aMayzing, Nikmati Sensasi Menginap di KHAS Pekanbaru | 17:49 WIB - Bawaslu Pekanbaru Buka Lowongan untuk Posisi PKD, Pendaftaran Ditutup 21 Mei 2024 | 16:53 WIB - BRI Bagikan Mobil untuk AgenBRILink Berprestasi di Yogyakarta | 15:53 WIB - Ditemukan Dalam Semak Berlumpur, Buron Pengedar Narkotika Akhirnya Berhasil Diamankan Polisi
 
Persoalan di Dunia Pendidikan Tak Akan Ada Habisnya, Salahsatunya Perkara Kesejahteraan
Senin, 22-01-2024 - 13:36:06 WIB

TERKAIT:
   
 

Riau12.com-Bicara tenaga pengajar atau guru tak ada ada habisnya. Berbagai persoalan terus menghampiri. Satu isu paling menonjol dan belum beres sejak era kemerdekaan sampai detik ini ialah perkara kesejahteraan. Masih bertaburan di seantero negeri, guru bergaji di bawah Rp.200 ribu per bulan. Kendati negara (baca: Pemerintah) berupaya membenahi pendapatan pendidik, realita masih jauh dari ekspektasi. Sungguh heran. Hanya untuk mendapatkan pendapatan lebih baik, guru harus menempuh “jalan” administrasi nan terjal, panjang serta berliku-liku. Belum lagi ditambah kebijakan kerap berubah-ubah. Namun akar masalah tak kunjung tuntas. Di sisi guru, semua ditempuh mengikuti arahan Pemerintah. Harapannya memperoleh insentif dan pendapatan lebih baik. Terutama lewat program sertifikasi guru. Ironisnya, negara yang semestinya satu-satunya harapan justru mempersulit. Kisah seorang guru swasta berikut ini setidaknya contoh riil.

Tanpa sebut nama, tersebutlah seorang guru di Taman Kanak-Kanak (TK) sebuah yayasan. Walau di perkotaan, gaji yang diperolehnya memprihatinkan. “Honor saya jadi guru di TK swasta itu meski berstatus guru tetap yayasan cuma Rp175 ribu per bulan,” ujarnya.

Tanpa bermaksud mengenyampingkan kesejahteraan guru lain, nasib nahas dialami kebanyakan guru swasta. Di perkotaan saja merana terlebih lagi di daerah-daerah. Boleh dibilang Guru swasta terkesan dianaktirikan. Kembali ke kisah, di usia menginjak 49 tahun, suami PNS pangkat rendah baru saja pensiun, ia dihadapkan pengeluaran untuk anaknya yang baru masuk kuliah. Segala upaya ditempuh. Termasuk rajin dan gigih ikut program dan berjuang urus sertifikasi Guru Penggerak untuk naik golongan. Bahkan rela menempuh perjalanan jauh dan memakan biaya ke ibu kota. Tapi memasuki tahun 2024 malah kekecewaan didapat.

Ia tak habis pikir, ternyata Pemerintah tidak menghitung masa kerjanya mulai saat masih guru honorer di sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN). Yang dihitung saat guru swasta saja. Padahal dulu ia dimutasi ke sekolah swasta karena ikut program Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Poin yang sudah dikumpulkan pun termasuk banyak. Keluhan berikut perihal penolakan Badan Kepegawaian Negara (BKN) terhadap guru yang bersertifikat Guru Penggerak sebelum 2024. Sebagaimana diketahui saat ini BKN mengeluarkan platform E-Kinerja. Di sistem tadi, guru wajib mengisi Rencana Hasil Kinerja (RHK) dan menggunggah sertifikat pelatihan atau webinar untuk menaikkan poin. Tapi ternyata guru swasta mengaku tak bisa mengunggah sertifikat Guru Penggerak yang diterbitkan sebelum tahun 2023. Kabarnya hanya sertifikat tahun 2024. Sempat dipertanyakan, kenapa guru PNS atau PPPK saja yang bisa masuk. Lantas nasib guru swasta bagaimana?

Labirin

Kisah diatas bukan imajinasi belaka. Begitulah keadaan di dunia nyata. Keluhan dan kekecewaan para guru swasta dan honorer yang menaruh asa dengan mengikuti pelbagai program pemerintah melalui kementerian terkait, semestinya tak terjadi. Sekali lagi, mayoritas mereka gencar menjalani program dipicu satu hal: demi memperbaiki tingkat kesejahteraan. Berkaitan penguatan kompetensi, di kalangan guru terlanjur memandang pemenuhan poin pengembangan kompetensi sebagai penilaian utama E-Kinerja 2024. Disini pemerintah abai pentingnya sosialisasi dan internalisasi. Para guru penting diberi pemahaman, mengacu ke Peraturan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Perdirjen GTK) nomor 7607/B.B1/HK.03/2023 yang mengatur Petunjuk Teknis Pengelolaan Kinerja Guru dan Kepala Sekolah, pemenuhan poin pengembangan kompetensi mencakup Rencana Hasil Kerja (RHK) guru dan Kepala Sekolah ternyata bukan penilaian utama E-Kinerja. Menurut Perdirjen GTK, penilaian mengacu kepada praktik kerja dan perilaku kerja. Dua hal inilah penilaian utama E-Kinerja. Kemudian disebutkan pula bahwa pengelolaan kinerja Guru dan Kepala Sekolah terdiri atas perencanaan kinerja yang meliputi penetapan dan klarifikasi Ekspektasi Kinerja, lalu pelaksanaan, pemantauan dan pembinaan kinerja yang meliputi pendokumentasian kinerja, pemberian umpan balik berkelanjutan dan pengembangan kinerja serta penilaian yang meliputi evaluasi kinerja dan tindak lanjut hasil evaluasi kinerja yang meliputi pemberian penghargaan dan sanksi.

Perihal sertifikasi dan seabrek kegiatan pelatihan memang “jalan ninja” guru di Indonesia belakangan. Mengincar jumlah poin minimal pengembangan kompetensi. Tahun 2023 masa kejar tayang program implementasi Kurikulum Merdeka. Mereka berjibaku entaskan pelatihan mandiri di Platform Merdeka Mengajar (PMM) demi memperoleh sertifikat sebanyak-banyaknya. Meski aspek administratif diperlukan, sayangnya dunia pendidikan kita terjebak dalam labirin. Tak sedikit guru mundur dari proses seleksi program karena menganggap menyita waktu. Dampaknya tugas pokok mengajar keteteran. Program yang ada sebenarnya bagus. Semisal Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang mana terobosan Kemendikbudristek meningkatkan kapasitas guru dengan materi pelatihan mandiri untuk referensi pengembangan praktik mengajar dan membantu guru mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Tapi di dinas hingga level bawah, orientasi semata kejar target dan peringkat daerah. Makanya tak heran Dinas Pendidikan di daerah getol mendorong para guru mendapatkan sertifikat di pelatihan mandiri.

Imbasnya motivasi jadi kabur. Bukan peningkatan kapasitas, tetapi lebih ke perbaikan peringkat guru. Apalagi daerah yang jumlah guru mendapat sertifikatnya tergolong rendah. Akhirnya kurang ada penekanan kualitas pendalaman materi atau aksi nyata. Pokoknya banyak bersertifikat. Pemandangan barusan jelas tak sejalan lagi dengan semangat Merdeka Mengajar yang berorientasi kualitas. Implikasi serius di balik jebakan administratif dikhawatirkan menurunkan derajat dan kualitas pendidikan. Disamping tentunya pendidik seolah dieksploitasi mencapai target tertentu di tengah kondisi masih banyak dihantui hidup prasejahtera. Produktivitas mereka sebatas mencapai kredit yang ujungnya menguntungkan kementerian dan organisasi perangkat atau pemerintah daerah. Kalau sudah begini sulit berharap pendidikan bertambah baik.

Sumber: Cakaplah.com



 
Berita Lainnya :
  • Persoalan di Dunia Pendidikan Tak Akan Ada Habisnya, Salahsatunya Perkara Kesejahteraan
  •  
    Komentar Anda :

     
     
     
     
    TERPOPULER
    1 Anak SMA ini Mengaku Dengan "OM" atau "Pacar" Sama Enaknya, Simak Pengakuannya
    2 Azharisman Rozie Lolos Tujuh Besar Seleksi Sekdaprov Riau, 12 Orang Gugur
    3 Tingkatkan Pelayanan dan Tanggap dengan pengaduan masyarakat
    Lusa, Camat Bukit Raya Lauching Forum Diskusi Online
    4 Pemko Pekanbaru Berlakukan Syarat Jadi Ketua RT dan RW Wajib Bisa Operasikan Android
    5 Inilah Pengakuan Istri yang Rela Digarap 2 Sahabat Suaminya
    6 Astagfirullah, Siswi Di Tanggerang Melahirkan Di Tengah Kebun Dan Masih Memakai Seragam
    7 Lima Negara Ini Di cap memiliki Tingkat Seks Bebas Tertinggi
    8 Selingkuh, Oknum PNS Pemprov Riau Dipolisikan Sang Istri
    9 Langkah Cepat Antisipasi Banjir, PU Bina Marga Pekanbaru Lakukan Peremajaan Parit-parit
    10 Dosen Akper Mesum Dengan Mahasiswinya di Kerinci Terancam Dipecat
     
    Pekanbaru Rohil Opini
    Redaksi Disclaimer Pedoman Tentang Kami Info Iklan
    © 2015-2022 PT. Alfagaba Media Group, All Rights Reserved