Sengketa Lahan Warisan Abad ke-18 di Tanjung, Warga Tuding Kades Serobot Tanah, Kades Bantah Rabu, 24/09/2025 | 09:16
Riau12.com-KEPULAUAN MERANTI – Polemik sengketa lahan warisan leluhur di Dusun Lalang Suir, Desa Tanjung, Kecamatan Tebingtinggi Barat, kembali memanas. Warga setempat, Jastiar alias Aki Jang, menuding Kepala Desa Tanjung, Muhammad Annas, melakukan penyerobotan lahan dan penyalahgunaan wewenang.
Jastiar mengaku tanah tersebut telah dikuasai keluarganya sejak abad ke-18, tepatnya sejak 1733, dan ditandai dengan keberadaan Makam Datuk Panglima Syeh H. Muhammad Shaleh. Ia menyayangkan Kades Tanjung menerbitkan surat tanah atas nama pribadi melalui Kepala Dusun, yang kemudian digunakan untuk menerima kompensasi proyek jalan pipa minyak, yang diduga masuk ke rekening pribadi.
“Bagi kami, tanah ini bukan hanya sebidang lahan. Ini adalah bagian dari martabat keluarga dan warisan leluhur yang kami jaga sejak abad ke-18,” ujar Jastiar. Ia menuntut pembatalan seluruh dokumen tanah yang diterbitkan sepihak, pengusutan dugaan pemalsuan surat dan penggelapan kompensasi, serta keterlibatan pemerintah daerah dan perusahaan untuk mengakui haknya sebagai pemilik sah.
Namun, Kades Tanjung, Muhammad Annas, membantah keras tudingan tersebut. Ia menyebut klaim Jastiar sebagai upaya menutupi persoalan hukum yang sedang menjeratnya terkait penebangan pohon sagu di lahan milik orang lain. Menurut Annas, desa tidak pernah menerbitkan surat tanah secara sepihak. Surat yang diajukan Jastiar pada 2022 ditolak karena tidak ada persetujuan dari pemilik lahan sekitarnya.
“Sebagai kepala desa, kita harus minta persetujuan terlebih dahulu dari pemilik lahan yang berbatasan. Setelah kami datangi satu per satu, mereka semua menolak,” tegas Annas. Ia menambahkan bahwa tudingan Jastiar hanyalah narasi untuk membalik fakta.
Kasus ini semakin rumit karena lahan yang disengketakan ternyata menyimpan cadangan migas. PT ITA (Imbang Tata Alam) meminta legalitas lahan untuk pembayaran kompensasi, sehingga desa membuat surat atas nama pemerintah desa. Kompensasi senilai Rp303 juta diterima dan dibagi antara desa dan Jastiar, namun penggunaan uang tersebut menjadi persoalan tersendiri.
Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan bahwa lahan itu sah dimiliki Sugianto berdasarkan surat kepemilikan dari ahli waris Subeny tahun 1970. Desa telah memastikan status kompensasi dengan Sugianto, yang bersikap legowo dan tidak menuntut pengembalian dana.
Meski demikian, Annas mengaku merasa dirugikan atas tudingan Jastiar dan menegaskan siap melaporkan balik jika tidak ada klarifikasi resmi, karena klaim yang disampaikan Jastiar dianggap fitnah dan merugikan nama baiknya.
“Yang disampaikannya tidak relevan dan mendasar. Saya merasa dirugikan, dan jika tidak ada klarifikasi, kami tidak segan melaporkan balik atas dugaan pencemaran nama baik,” pungkas Annas.