LAKR: Korupsi di Riau Sudah Mengakar, Negara Tak Boleh Lagi Diam Sabtu, 09/08/2025 | 12:00
Riau12.com-PEKANBARU – Korupsi di Riau disebut telah mencapai fase paling parah. Seperti penyakit yang dibiarkan menyebar, kondisinya kini digambarkan sudah berada di stadium empat. Lembaga Anti Korupsi Riau (LAKR) menilai praktik kejahatan itu telah merusak hampir seluruh sendi pemerintahan dan berlangsung secara sistemik.
Direktur LAKR, Armilis, menyampaikan kegelisahan tersebut saat berbincang bersama sejumlah pimpinan redaksi media di Pekanbaru. Ia menegaskan bahwa kerja LAKR bukan agenda pribadi atau proyek politik terselubung.
“Kami bukan pemburu kepala,” ujarnya. “Kami sedang menyusun peta penyakit. Dan dalam peta itu, hampir semua titik berwarna gelap.”
Menurutnya, korupsi di Riau sudah bukan lagi tindakan menyimpang yang dilakukan segelintir orang secara sembunyi-sembunyi. Ia telah menjelma menjadi sistem yang terorganisir, bekerja kolektif, saling melindungi, menyimpan rahasia, dan mengunci kekuasaan di antara pelaku.
“Dari legislatif ke eksekutif, dari dinas ke lembaga pengawasan, dari pengadaan proyek ke permainan anggaran, bahkan ke jantung inspektorat, semua terhubung oleh kepentingan dan kehausan akan kuasa dan kekayaan,” jelasnya. “Yang kita hadapi bukan peristiwa hukum, tapi arsitektur kejahatan.”
Armilis mengutip Network Theory untuk menjelaskan bahwa korupsi tidak bisa lagi dipandang sebagai tindakan individu. Ia hidup dalam jejaring kepentingan yang melibatkan birokrat, pengusaha, bahkan aparat penegak hukum.
“Bila ada yang bertanya kenapa pelaku besar sulit disentuh, jawabannya sederhana: mereka punya jaring, dan jaring itu melindungi,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa seruan moral tak cukup untuk membongkar kejahatan ini. Dibutuhkan langkah konkret, seperti pemutusan jaringan, pelacakan aset, dan pembongkaran sindikat secara sistematis.
Namun yang terjadi, katanya, justru sebaliknya. Banyak laporan masyarakat mandek tanpa tindak lanjut. Bukti-bukti yang sudah tersedia, bahkan terbuka di ruang publik, hanya disimpan dalam map dan dibiarkan lapuk.
“Hukum tanpa eksekusi adalah ilusi,” tambahnya. “Dan ilusi keadilan lebih menyakitkan ketimbang ketiadaan hukum itu sendiri.”
Dalam situasi seperti ini, muncul generasi pemimpin palsu yang hanya menjual pencitraan. Mereka tampil seolah peduli, tapi sebenarnya hidup mewah dari hasil korupsi.
“Mereka bicara moral di depan publik, tapi sebenarnya mereka tikus yang menggerogoti uang rakyat,” paparnya. “Ini yang lebih berbahaya: kemunafikan yang dilembagakan.”
LAKR tidak ingin tenggelam dalam pesimisme. Negara, menurut Armilis, tetap harus hadir dalam bentuk pencegahan dan pembinaan. Bila aparat penegak hukum kekurangan sumber daya, LAKR siap terlibat dalam penyadaran dan pendidikan antikorupsi.
“Bukan karena ingin panggung, tapi karena kami ingin masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang,” sambungnya.
Ia mengajak masyarakat untuk tidak diam. Menurutnya, selama rakyat bungkam, para koruptor akan terus berpesta.
“Jika negara, terutama aparat hukum, masih punya akal sehat dan nurani, maka inilah saatnya bangun dan bertindak,” tegasnya.
LAKR menegaskan, pihaknya tidak sedang mengancam atau membuat kegaduhan. Mereka hanya berupaya menyelamatkan bangsa, terutama di Riau, dari jurang kehancuran. (***)